Nasab dan Kelahirannya
bin Tsabit bin Zuthi (ada yang mengatakan Zutha) At-Taimi Al-Kufi
Beliau adalah Abu Hanifah An-Nu’man Taimillah bin Tsa’labah. Beliau berasal dari keturunan bangsa persi. Beliau dilahirkan pada tahun 80 H pada masa shigharus shahabah dan para ulama berselisih pendapat tentang tempat kelahiran Abu Hanifah, menurut penuturan anaknya Hamad bin Abu Hadifah bahwa Zuthi berasal dari kota Kabul dan dia terlahir dalam keadaan Islam. Adapula yang mengatakan dari Anbar, yang lainnya mengatakan dari Turmudz dan yang lainnya lagi mengatakan dari Babilonia.
Perkembangannya
Ismail bin Hamad bin Abu Hanifah cucunya menuturkan bahwa dahulu Tsabit ayah Abu Hanifah pergi mengunjungi Ali Bin Abi Thalib, lantas Ali mendoakan keberkahan kepadanya pada dirinya dan keluarganya, sedangkan dia pada waktu itu masih kecil, dan kami berharap Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa Ali tersebut untuk kami. Dan Abu Hanifah At-Taimi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutera, bahkan dia punya toko untuk berdagang kain yang berada di rumah Amr bin Harits.
Abu Hanifah itu tinggi
badannya sedang, memiliki postur tubuh yang bagus, jelas dalam berbicara,
suaranya bagus dan enak didengar, bagus wajahnya, bagus pakaiannya dan selalu
memakai minyak wangi, bagus dalam bermajelis, sangat kasih sayang, bagus dalam
pergaulan bersama rekan-rekannya, disegani dan tidak membicarakan hal-hal yang
tidak berguna.
Beliau disibukkan
dengan mencari atsar/hadits dan juga melakukan rihlah untuk mencari hal itu.
Dan beliau ahli dalam bidang fiqih, mempunyai kecermatan dalam berpendapat, dan
dalam permasalahan-permasalahan yang samar/sulit maka kepada beliau akhir
penyelesaiannya.
Beliau sempat bertemu
dengan Anas bin Malik tatkala datang ke Kufah dan belajar kepadanya, beliau
juga belajar dan meriwayat dari ulama lain seperti Atha’ bin Abi Rabbah yang
merupakan syaikh besarnya, Asy-Sya’bi, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuj
al-A’raj, Amru bin Dinar, Thalhah bin Nafi’, Nafi’ Maula Ibnu Umar, Qotadah bin
Di’amah, Qois bin Muslim, Abdullah bin Dinar, Hamad bin Abi Sulaiman guru
fiqihnya, Abu Ja’far Al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Muhammad bin Munkandar,
dan masih banyak lagi. Dan ada yang meriwayatkan bahwa beliau sempat bertemu
dengan 7 sahabat.
Beliau pernah
bercerita, tatkala pergi ke kota Bashrah, saya optimis kalau ada orang yang
bertanya kepadaku tentang sesuatu apapun saya akan menjawabnya, maka tatkala
diantara mereka ada yang bertanya kepadaku tentang suatu masalah lantas saya
tidak mempunyai jawabannya, maka aku memutuskan untuk tidak berpisah dengan
Hamad sampai dia meninggal, maka saya bersamanya selama 10 tahun.
Pada masa pemerintahan
Marwan salah seorang raja dari Bani Umayyah di Kufah, beliau didatangi Hubairoh
salah satu anak buah raja Marwan meminta Abu Hanifah agar menjadi Qodhi (hakim)
di Kufah akan tetapi beliau menolak permintaan tersebut, maka beliau dihukum
cambuk sebanyak 110 kali (setiap harinya dicambuk 10 kali), tatkala dia mengetahui
keteguhan Abu Hanifah maka dia melepaskannya.
Adapun orang-orang yang
belajar kepadanya dan meriwayatkan darinya diantaranya adalah sebagaimana yang
disebutkan oleh Syaikh Abul Hajaj di dalam Tahdzibnya berdasarkan abjad
diantaranya Ibrahin bin Thahman seorang alim dari Khurasan, Abyadh bin Al-Aghar
bin Ash-Shabah, Ishaq al-Azroq, Asar bin Amru Al-Bajali, Ismail bin Yahya
Al-Sirafi, Al-Harits bin Nahban, Al-Hasan bin Ziyad, Hafsh binn Abdurrahman
al-Qadhi, Hamad bin Abu Hanifah, Hamzah temannya penjual minyak wangi, Dawud
Ath-Thai, Sulaiman bin Amr An-Nakhai, Su’aib bin Ishaq, Abdullah ibnul Mubarok,
Abdul Aziz bin Khalid at-Turmudzi, Abdul karim bin Muhammad al-Jurjani,
Abdullah bin Zubair al-Qurasy, Ali bin Zhibyan al-Qodhi, Ali bin Ashim, Isa bin
Yunus, Abu Nu’aim, Al-Fadhl bin Musa, Muhammad bin Bisyr, Muhammad bin Hasan
Assaibani, Muhammad bin Abdullah al-Anshari, Muhammad bin Qoshim al-Asadi,
Nu’man bin Abdus Salam al-Asbahani, Waki’ bin Al-Jarah, Yahya bin Ayub
Al-Mishri, Yazid bin Harun, Abu Syihab Al-Hanath Assamaqondi, Al-Qodhi Abu
Yusuf, dan lain-lain.
Penilaian para ulama
terhadap Abu Hanifah
Berikut ini beberapa penilaian para ulama tentang Abu Hanifah, diantaranya:
1. Yahya bin Ma’in berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh, dia
tidak membicarakan hadits kecuali yang dia hafal dan tidak membicarakan apa-apa
yang tidak hafal”. Dan dalam waktu yang lain beliau berkata, “Abu Hanifah
adalah orang yang tsiqoh di dalam hadits”. Dan dia juga berkata, “Abu hanifah
laa ba’sa bih, dia tidak berdusta, orang yang jujur, tidak tertuduh dengan
berdusta, …”.
2. Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Kalaulah Allah subhanahu wa ta’ala
tidak menolong saya melalui Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri maka saya hanya
akan seperti orang biasa”. Dan beliau juga berkata, “Abu Hanifah adalah orang
yang paling faqih”. Dan beliau juga pernah berkata, “Aku berkata kepada Sufyan
Ats-Tsauri, ‘Wahai Abu Abdillah, orang yang paling jauh dari perbuatan ghibah
adalah Abu Hanifah, saya tidak pernah mendengar beliau berbuat ghibah meskipun
kepada musuhnya’ kemudian beliau menimpali ‘Demi Allah, dia adalah orang yang
paling berakal, dia tidak menghilangkan kebaikannya dengan perbuatan ghibah’.”
Beliau juga berkata, “Aku datang ke kota Kufah, aku bertanya siapakah orang yang
paling wara’ di kota Kufah? Maka mereka penduduk Kufah menjawab Abu Hanifah”.
Beliau juga berkata, “Apabila atsar telah diketahui, dan masih membutuhkan
pendapat, kemudian imam Malik berpendapat, Sufyan berpendapat dan Abu Hanifah
berpendapat maka yang paling bagus pendapatnya adalah Abu Hanifah … dan dia
orang yang paling faqih dari ketiganya”.
3. Al-Qodhi Abu Yusuf berkata, “Abu Hanifah berkata, tidak selayaknya bagi
seseorang berbicara tentang hadits kecuali apa-apa yang dia hafal sebagaimana
dia mendengarnya”. Beliau juga berkata, “Saya tidak melihat seseorang yang
lebih tahu tentang tafsir hadits dan tempat-tempat pengambilan fiqih hadits
dari Abu Hanifah”.
4. Imam Syafii berkata, “Barangsiapa ingin mutabahir (memiliki ilmu seluas
lautan) dalam masalah fiqih hendaklah dia belajar kepada Abu Hanifah”.
5. Fudhail bin Iyadh berkata, “Abu Hanifah adalah seorang yang faqih,
terkenal dengan wara’-nya, termasuk salah seorang hartawan, sabar dalam belajar
dan mengajarkan ilmu, sedikit bicara, menunjukkan kebenaran dengan cara yang
baik, menghindari dari harta penguasa”. Qois bin Rabi’ juga mengatakan hal
serupa dengan perkataan Fudhail bin Iyadh.
6. Yahya bin Sa’id al-Qothan berkata, “Kami tidak mendustakan Allah swt,
tidaklah kami mendengar pendapat yang lebih baik dari pendapat Abu Hanifah, dan
sungguh banyak mengambil pendapatnya”.
7. Hafsh bin Ghiyats berkata, “Pendapat Abu Hanifah di dalam masalah fiqih
lebih mendalam dari pada syair, dan tidaklah mencelanya melainkan dia itu orang
yang jahil tentangnya”.
8. Al-Khuroibi berkata, “Tidaklah orang itu mensela Abu Hanifah melainkan
dia itu orang yang pendengki atau orang yang jahil”.
9. Sufyan bin Uyainah berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Hanifah karena
dia adalah termasuk orang yang menjaga shalatnya (banyak melakukan shalat)”.
Beberapa penilaian
negatif yang ditujukan kepada Abu Hanifah
Abu Hanifah selain dia mendapatkan penilaian yang baik dan pujian dari beberapa ulama, juga mendapatkan penilaian negatif dan celaan yang ditujukan kepada beliau, diantaranya :
1. Imam Muslim bin Hajaj berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit shahibur
ro’yi mudhtharib dalam hadits, tidak banyak hadits shahihnya”.
2. Abdul Karim bin Muhammad bin Syu’aib An-Nasai berkata, “Abu Hanifah
Nu’man bin Tsabit tidak kuat hafalan haditsnya”.
3. Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Abu Hanifah orang yang miskin di dalam
hadits”.
4. Sebagian ahlul ilmi memberikan tuduhan bahwa Abu Hanifah adalah
murji’ah dalam memahi masalah iman. Yaitu penyataan bahwa iman itu keyakinan
yang ada dalam hati dan diucapkan dengan lisan, dan mengeluarkan amal dari
hakikat iman. Dan telah dinukil dari Abu Hanifah bahwasanya amal-amal itu tidak
termasuk dari hakekat imam, akan tetapi dia termasuk dari sya’air iman, dan
yang berpendapat seperti ini adalah Jumhur Asy’ariyyah, Abu Manshur Al-Maturidi
… dan menyelisihi pendapat ini adalah Ahlu Hadits … dan telah dinukil pula dari
Abu Hanifah bahwa iman itu adalah pembenaran di dalam hati dan penetapan dengan
lesan tidak bertambah dan tidak berkurang. Dan yang dimaksudkan dengan “tidak
bertambah dan berkurang” adalah jumlah dan ukurannya itu tidak bertingkat-tingkat,
dak hal ini tidak menafikan adanya iman itu bertingkat-tingkat dari segi
kaifiyyah, seperti ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang jelas dan yang
samar, dan yang semisalnya.
Dan dinukil pula oleh
para sahabatnya, mereka menyebutkan bahwa Abu Hanifah berkata, ‘Orang yang
terjerumus dalam dosa besar maka urusannya diserahkan kepada Allah’,
sebagaimana yang termaktub dalam kitab “Fiqhul Akbar” karya Abu Hanifah, “Kami
tidak mengatakan bahwa orang yang beriman itu tidak membahayakan dosa-dosanya
terhadap keimanannya, dan kami juga tidak mengatakan pelaku dosa besar itu
masuk neraka dan kekal di neraka meskipun dia itu orang yang fasiq, akan tetapi
kami mengatakan bahwa barangsiapa beramal kebaikan dengan memenuhi
syarat-syaratnya dan tidak melakukan hal-hal yang merusaknya, tidak
membatalakannya dengan kekufuran dan murtad sampai dia meninggal maka Allah
tidak akan menyia-nyiakan amalannya, bahklan -insya Allah- akan menerimanya;
dan orang yang berbuat kemaksiatan selain syirik dan kekufuran meskipun dia
belum bertaubat sampai dia meninggal dalam keadaan beriman, maka di berasa
dibawah kehendak Allah, kalau Dia menghendaki maka akan mengadzabnya dan kalau
tidak maka akan mengampuninya.”
5. Sebagian ahlul ilmi yang lainnya memberikan tuduhan kepada Abu Hanifah,
bahwa beliau berpendapat Al-Qur’an itu makhluq.
Padahahal telah dinukil dari beliau bahwa Al-Qur’an itu adalah kalamullah dan pengucapan kita dengan Al-Qur’an adalah makhluq. Dan ini merupakan pendapat ahlul haq, coba lihatlah ke kitab beliau Fiqhul Akbar dan Aqidah Thahawiyah, dan penisbatan pendapat Al-Qur’an itu dalah makhluq kepada Abu Hanifah merupakan kedustaan”.
Dan di sana masih
banyak lagi bentuk-bentuk penilaian negatif dan celaan yang diberikan kepada
beliau, hal ini bisa dibaca dalam kitab Tarikh Baghdad juz 13 dan juga kitab
al-Jarh wa at-Ta’dil Juz 8 hal 450.
Dan kalian akan
mengetahui riwayat-riwayat yang banyak tentang cacian yang ditujukan kepada
Abiu Hanifah -dalam Tarikh Baghdad- dan sungguh kami telah meneliti semua
riwayat-riwayat tersebut, ternyata riwayat-riwayat tersebut lemah dalam
sanadnya dan mudhtharib dalam maknanya. Tidak diragukan lagi bahwa merupakan
cela, aib untuk ber-ashabiyyah madzhabiyyah, dan betapa banyak dari para imam
yang agung, alim yang cerdas mereka bersikap inshaf (pertengahan ) secara
haqiqi. Dan apabila kalian menghendaki untuk mengetahui kedudukan
riwayat-riwayat yang berkenaan dengan celaan terhadap Abu Hanifah maka bacalah
kitab al-Intiqo’ karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, Jami’ul Masanid karya
al-Khawaruzumi dan Tadzkiratul Hufazh karya Imam Adz-Dzahabi. Ibnu Abdil Barr
berkata, “Banyak dari Ahlul Hadits – yakni yang menukil tentang Abu Hanifah
dari al-Khatib (Tarikh baghdad) – melampaui batas dalam mencela Abu Hanifah,
maka hal seperti itu sungguh dia menolak banyak pengkhabaran tentang Abu
Hanifah dari orang-orang yang adil”.
Beberapa nasehat Imam
Abu Hanifah
Beliau adalah termasuk imam yang pertama-tama berpendapat wajibnya mengikuti Sunnah dan meninggalkan pendapat-pendapatnya yang menyelisihi sunnah. dan sungguh telah diriwayatkan dari Abu Hanifah oleh para sahabatnya pendapat-pendapat yang jitu dan dengan ibarat yang berbeda-beda, yang semuanya itu menunjukkan pada sesuatu yang satu, yaitu wajibnya mengambil hadits dan meninggalkan taqlid terhadap pendapat para imam yang menyelisihi hadits. Diantara nasehat-nasehat beliau adalah:
a. Apabila telah shahih sebuah hadits maka hadits tersebut menjadi
madzhabku
Berkata Syaikh Nashirudin Al-Albani, “Ini merupakan kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan para imam. Dan para imam telah memberi isyarat bahwa mereka tidak mampu untuk menguasai, meliput sunnah/hadits secara keseluruhan”. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Syafii, “maka terkadang diantara para imam ada yang menyelisihi sunnah yang belum atau tidak sampai kepada mereka, maka mereka memerintahkan kepada kita untuk berpegang teguh dengan sunnah dan menjadikan sunah tersebut termasuk madzhab mereka semuanya”.
Berkata Syaikh Nashirudin Al-Albani, “Ini merupakan kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan para imam. Dan para imam telah memberi isyarat bahwa mereka tidak mampu untuk menguasai, meliput sunnah/hadits secara keseluruhan”. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Syafii, “maka terkadang diantara para imam ada yang menyelisihi sunnah yang belum atau tidak sampai kepada mereka, maka mereka memerintahkan kepada kita untuk berpegang teguh dengan sunnah dan menjadikan sunah tersebut termasuk madzhab mereka semuanya”.
b. Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil/memakai pendapat kami selama
dia tidak mengetahui dari dalil mana kami mengambil pendapat tersebut. dalam
riwayat lain, haram bagi orang yang tidak mengetahui dalilku, dia berfatwa
dengan pendapatku. Dan dalam riawyat lain, sesungguhnya kami adalah manusia
biasa, kami berpendapat pada hari ini, dan kami ruju’ (membatalkan) pendapat
tersebut pada pagi harinya. Dan dalam riwayat lain, Celaka engkau wahai Ya’qub
(Abu Yusuf), janganlah engakau catat semua apa-apa yang kamu dengar dariku,
maka sesungguhnya aku berpendapat pada hari ini denga suatu pendapat dan aku
tinggalkan pendapat itu besok, besok aku berpendapat dengan suatu pendapat dan
aku tinggalkan pendapat tersebut hari berikutnya.
Syaikh Al-Albani
berkata, “Maka apabila demikian perkataan para imam terhadap orang yang tidak
mengetahui dalil mereka. maka ketahuilah! Apakah perkataan mereka terhadap
orang yang mengetahui dalil yang menyelisihi pendapat mereka, kemudian dia
berfatwa dengan pendapat yang menyelisishi dalil tersebut? maka camkanlah
kalimat ini! Dan perkataan ini saja cukup untuk memusnahkan taqlid buta, untuk
itulah sebaigan orang dari para masyayikh yang diikuti mengingkari penisbahan
kepada Abu Hanifah tatkala mereka mengingkari fatwanya dengan berkata “Abu Hanifah
tidak tahu dalil”!.
Berkata Asy-sya’roni
dalam kitabnya Al-Mizan 1/62 yang ringkasnya sebagai berikut, “Keyakinan kami
dan keyakinan setiap orang yang pertengahan (tidak memihak) terhadap Abu
Hanifah, bahwa seandainya dia hidup sampai dengan dituliskannya ilmu Syariat,
setelah para penghafal hadits mengumpulkan hadits-haditsnya dari seluruh
pelosok penjuru dunia maka Abu Hanifah akan mengambil hadits-hadits tersebut
dan meninggalkan semua pendapatnya dengan cara qiyas, itupun hanya sedikit
dalam madzhabnya sebagaimana hal itu juga sedikit pada madzhab-madzhab lainnya
dengan penisbahan kepadanya. Akan tetapi dalil-dalil syari terpisah-pesah pada
zamannya dan juga pada zaman tabi’in dan atbaut tabiin masih terpencar-pencar
disana-sini. Maka banyak terjadi qiyas pada madzhabnya secara darurat
kalaudibanding dengan para ulama lainnya, karena tidak ada nash dalam
permasalahan-permasalahan yang diqiyaskan tersebut. berbeda dengan para imam
yang lainnya”. Kemudian syaikh Al-Albani mengomentari pernyataan tersebut
dengan perkataannya, “Maka apabila demikian halnya, hal itu merupakan udzur
bagi Abu Hanifah tatkala dia menyelisihi hadits-hadits yang shahih tanpa dia
sengaja – dan ini merupakan udzur yang diterima, karena Allah tidak membebani
manusia yang tidak dimampuinya -, maka tidak boleh mencela padanya sebagaimana
yang dilakukan sebagian orang jahil, bahkan wajib beradab dengannya karena dia
merupakan salah satu imam dari imam-imam kaum muslimin yang dengan mereka
terjaga agama ini”.
c. Apabila saya mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi kitab Allah
dan hadits Rasulullah yang shahih, maka tinggalkan perkataanku.
Wafatnya
Pada zaman kerajaan Bani Abbasiyah tepatnya pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur yaitu raja yang ke-2, Abu Hanifah dipanggil kehadapannya untuk diminta menjadi qodhi (hakim), akan tetapi beliau menolak permintaan raja tersebut – karena Abu Hanifah hendak menjauhi harta dan kedudukan dari sultan (raja) – maka dia ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara dan wafat dalam penjara.
Dan beliau wafat pada
bulan Rajab pada tahun 150 H dengan usia 70 tahun, dan dia dishalatkan banyak
orang bahkan ada yang meriwayatkan dishalatkan sampai 6 kloter.[1]